Dari Nol Rupiah Menuju Teknik Nuklir UGM

AmidayrusMotivasi - Pendidikan merupakan wadah bagi seseorang untuk mengasah keterampilannya entah itu dalam lingkup formal maupun informal. Dalam dunia pendidikan yang baik seseorang akan diajarkan bagaimana menumbuhkan karakter yang kuat dari dirinya, mengolah bakat dan kreatifitas. Di Indonesia, pendidikan dianggap sebagai hal yang penting dalam kehidupan karena melalui pendidikan seseorang akan dinilai status sosialnya, 'katanya', hehehe.

Menempuh pendidikan yang tinggi di Indonesia tentu saja diiringi dengan biaya yang tinggi pula, yah prinsip ekonomi disini mulai berlaku. Banyak di antara pelajar-pelajar Indonesia yang akan tergadai masa depannya hanya karena kurangnya biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan kebanyakan dari mereka merasa pesimis dan menyerah pada keadaan. Tengoklah Siti Horiah, gadis yang berhasil mencatatkan namanya dalam daftar mahasiswa yang diterima di salah satu universitas favorit di Indonesia yaitu Universitas Gajah Mada (UGM). Gadis sulung dari 7 bersaudara ini berlatar belakang dari keluarga yang sangat sederhana namun dengan semangat dan impian yang sangat 'tidak' sederhana. Dikutip dari brilio, berikut ini kisah Siti Horiah, gadis yang mampu taklukan Teknik Nuklir UGM tersebut :

kisah-siti-horiah-mahasiswi-teknik-UGMSiti terlahir sebagai anak sulung dari 7 bersaudara. Jumlah anggota keluarga yang banyak membuat kedua orangtua Siti harus bekerja ekstra keras. Orangtua Siti memilih bekerja sebagai pedagang pasar tradisional.
Sempat mengalami masa kejayaan, orangtua Siti berhasil mempunyai 3 toko yang berderet. Namun kejayaan yang dimiliki tidak bertahan lama. Terlilit utang dari rentenir membuat mereka bangkrut dan hidup sangat memprihatinkan. Mereka tak punya cukup uang untuk menyambung hidup dalam jangka waktu yang lama. Uang mereka hanya cukup untuk modal berjualan jajanan pasar. Hingga akhirnya mereka rela menjual barang-barang berharga yang ada di rumah.
Setiap waktu makan akan tiba, ibu Siti menjual berbagai perabotan kesayangannya, mulai dari alat-alat dapur hingga alat makan. Sendok dan garpu pun ikut habis terjual. Semua dilakukan demi bisa membeli satu telur dan setengah liter beras.
Sebenarnya bahan-bahan itu tak cukup untuk makan 9 orang anggota keluarga. Ibu Siti mengakalinya dengan mencampur telur itu dengan sedikit terigu. Setelah itu adonannya pasti akan mengembang dan cukup untuk dimakan 9 orang. Mereka juga terkadang harus berbagi 2 bungkus mi instan untuk makan bersembilan.
Hampir seluruh barang berharga dirumahnya terpaksa dijual, demi menutupi pendapatan ayah Siti yang saat itu besarnya kurang lebih Rp 10.000. Hanya satu buah meja telepon yang ibu Siti sisakan di ruang tamu. Meski Siti memaksa untuk turut menjualnya, tapi tetap saja ibunya menolak.
Setelah tahu alasan ibunya tak menjual meja telepon itu, terharulah Siti. “Selapar apa pun kita nanti, Ibu tak akan menjual tempat yang kamu gunakan untuk menggantungkan cita-citamu. Pakai terus saja meja itu,” tutur Siti menirukan ucapan ibunya.
Di meja yang panjangnya tak lebih dari 30 cm itu, Siti menggantungkan impiannya untuk berkuliah. Mengetahui mimpi anaknya, sang ibu dengan tegas melarangnya untuk melanjutkan mimpi itu. Menurut ibunya, sangat mustahil bagi Siti untuk berkuliah dengan ketidakmapanan keluarganya.
Ayahnya yang sangat mendukung Siti hanya jadi bahan olokan teman pasarnya, saat dia menceritakan mimpi anaknya itu. Hal ini membuat Siti sempat mengubur dalam-dalam mimpinya. Dia tak berani lagi menyentuh buku soal SNMPTN bekas yang dia beli di pasar.
Tak disangka, keadaan itu berbalik dengan cepat. Kecerdasannya di sekolah, membuatnya berkesempatan untuk mengikuti SNMPTN undangan. Dengan segera dia memilih jurusan Teknik Nuklir UGM.
Dalam dua bulan masa penantian, banyak orang-orang sekitar rumahnya yang masih saja suka nyinyir. Mereka merendahkan Siti, beranggapan tak mungkin Siti bisa kuliah. Bahkan kedua orangtuanya sampai diolok-olok. “Orang-orang sekitar rumah sampai ada yang bilang ke ortu kalau saya di sana nggak bakal kuliah, tapi jual diri,” katanya sambil menerawang masa lalu, matanya sampai berkaca-kaca.
Saat pengumuman SNMPTN terpampang, betapa bahagianya Siti melihat namanya tertulis sebagai salah satu mahasiswi UGM. Orang-orang yang tadinya hanya bisa mencemooh jadi tertunduk malu saat bertemu Siti. Akhirnya Siti bisa menunjukkan pada semua, meski materi yang dia miliki terbatas, dia bisa mewujudkan asanya untuk berkuliah hanya dengan Rp 0.
Memiliki kemauan untuk bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi setamat SMA memang hal yang lumrah bagi seorang pelajar. Biaya pendidikan bukanlah satu-satunya hal yang harus dirisaukan saat akan menentukan destinasi selepas SMA/SMK, karena pemerintah melalui lembaga pendidikan terkait telah memberikan jalan bagi para pelajar Indonesia yang mengalami keterbatasan biaya untuk tetap melanjutkan pendidikannya melalui berbagai program beasiswa yang ditawarkan.

Bagi kalian para generasi penerus bangsa, janganlah berkecil hati terhadap kondisi ekonomi orang tua kalian. Tetaplah berpikir positif dan berkemauan keras, juga tanamkan prestasi untuk memuluskan langkah kalian. Memilih bekerja atau melajutkan kuliah adalah dua hal yang harus dipikirkan matang. Bekerja bukanlah pilihan yang buruk, karena dengan bekerja kalian bisa menghasilkan pendapatan yang bisa ditabung untuk digunakan melanjutkan pendidikan di tahun berikutnya. ya, kan? Selain itu, secara tidak langsung kalian juga bisa membantu kondisi ekonomi orang tua.
Namun jika melanjutkan kuliah adalah pilihan yang tepat bagi dirimu, bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu, jangan sia-siakan setiap kucuran keringat orang tuamu dalam usaha membiayai masa kuliahmu dan jadilah mahasiswa yang berprestasi. Good Luck :)

Nah, itulah kisah Siti Horiah semoga dapat memotivasi pembaca sekalian. Aamiin.

No comments:

Powered by Blogger.